Sebuah Ancaman

#1

1561th

Suasana mencekam, empat orang tampak sama sekali tak menikmati hidangan makan malam mereka. Kande yang lusuh tergelantung di sisi dinding dan menghasilkan cahaya remang-remang.  Husein, yang sibuk menyuapi makanan ke mulutnya tak berkata sepatah katapun. Sementara Paman dan Bibinya mengkhawatirkan putra mereka yang hendak berlayar ke Mekkah, menunaikan haji.

“Tak ada surat balasan dari Turki?” Paman Jabar menodong tanya ke Husein dengan nampan nasinya.

“Belum ada kabar dari orang-orang di kesultanan, Alot.” Jawab Husein

“Kapal-kapal Portugeh sudah keterlaluan, bisa-bisanya mereka membajak kapal orang naik haji. Tak ada kah yang sudi membantu hamba Allah yang ingin mengunjungi rumah-Nya? Dimana kepala-kepala orang beriman di luar sana? Apa tidak ada niat membantu?” Sahut Siti, istrinya Jabar dengan raut wajah sedikit kesal, walau sambil mengunyah dan menumpahkan satu dua tiga butir nasi dari mulutnya.

Sementara Azmi, putra paman Jabar hanya diam sembari makan dan tak mengeluh sama sekali, meski terasa agak takut, tapi tekad dalam jiwanya tak surut hanya karena masalah Portugeh. Dia hanya yakin bahwa ia akan selamat pergi, begitu juga dengan pulang.

20 tahun lalu, sejak Husein melancong ke Turki, dengan membawa surat utusan dari Sultan dan meminta bala bantuan dari pasukan Turki bukanlah sebuah pekerjaan yang sepele. Mengingat perjalanan ke Turki juga bukanlah persoalan mudah. Menghadapi perangai orang-orang yang jauh tempatnya dari kita bukanlah suatu hal yang dapat diselesaikan dalam satu hari. Berlabuh di Calicut menghadapi orang yang gemar mencopet, perjalanan seterusnya menghadapi orang-orang Afrika yang saat itu kering dan lapar. Belum lagi melintasi Tanjung Harapan yang bukan main arus ombaknya. Kekurangan bahan makanan di Saint Helena, pandai-pandai berhemat di Maroko dan yang terakhir, perizinan ketat di laut Mediterania.

Kehadiran Portugeh yang menjajah semenanjung Malaka hingga India begitu meresahkan. Mereka bukan hanya kelompok orang yang menginginkan rempah di daratan, bahkan di lautpun mereka tak kenal ampun bak bajak laut yang lapar akan emas. Bila kapal yang mereka bajak tak berisi banyak rempah atau emas, seperti kapal Jamaah Haji, orang-orang itu akan dijadikan budak dan dipaksa bekerja, bagi tawanan laki-laki tentu saja dikebiri. Semua laporan ini didapatkan dari orang-orang Malaka maupun India. Para pengrajin batu di India, terutama Gujarat sering menyelipkan pesan yang selalu berisi ukiran nama dan kondisi Jamaah Haji yang disandera. Ukiran nama dan kondisi mereka itu tertulis dengan ukiran bahasa Arab. Proses pengiriman batu nisan pesanan orang-orang kesultanan ke kampung Husein tak pernah terganggu karena Portugeh tidak tertarik merampok batu nisan. Itulah sebabnya kapal pengangkut batu dari Gujarat selalu berhasil berlabuh di tepi pantai kampung halaman Husein dengan kondisi barang yang masih utuh.

Setelah makan malam sekaligus merayakan syukuran kecil-kecilan di rumah Jabar, Husein pulang sambil mengacungkan obor di tangan kanannya. Hingga tiba di rumah, yang tampak tak begitu rapi, berada di pinggir pantai, Husein membukakan pintu, masuk ke kamar yang beralas tikar pandan dan sepotong tukok kayu yang digunakan untuk bantal. Husein melepaskan pakaian yang dipakainya dan menggantung pakaiannya di paku dinding kamar. Ia membaringkan badan ke ranjang dan berselimut sarung yang amat lusuh, tak pernah dicuci, mungkin bau sarung lusuh itu akan membuat ikan-ikan di kolam milik Bukhari tetangganya Husein mati seketika.

Ia menatap langit-langit kamar, merenung, mengernyitkan dahi seperti orang yang sedang berpikir seolah mencari jalan tengah terkait nyawa dan hidup sepupunya yang terancam. Lalu tertidur begitu saja.

Keesokan paginya, usai subuh, Husein mengelilingi pasar yang tak jauh dari rumahnya. Lokasi pasar itu berdekatan dengan Pelabuhan yang menjadi poros masuk-keluarnya orang-orang dari mancanegara, serta jalur masuk barang-barang aneh dari seberang lautan.

Pasar yang begitu sibuk, tak hanya menjual bahan makanan, di pasar itu juga terdapat orang-orang yang menjual cinderamata dan barang antik dari berbagai daerah maupun negara. Terlihat seorang pedagang buah, bernama Jae, dari sudut pasar menghampiri Husein. Dagangan pedagang itu sudah laku sejak matahari terbit, meski dagangannya tak begitu banyak, tetapi pagi tadi seorang keturunan China seperti orang kesurupan memborong semua buah karena akan ada perayaan imlek.

“Oi! Tak seperti biasanya kau ke pasar. Mau masak sendiri? Bukannya akhir-akhir ini kau selalu numpang makan di rumah Jabar?” Sambar Jae menepuk Pundak Husein dari belakang.

Jae adalah seorang keturunan ras India, berkulit gelap dan berbadan kurus kering. Nama panjangnya Jaelani, namun orang kampung memanggilnya Jae, supaya mirip-mirip panggilan orang India. Husein menepis tepukan tangan Jae yang telah mendarat ke pundaknya sambil menoleh ke belakang dengan perasaan terkejut.

“Kau tampak tak bergairah seperti biasanya, Husein. Apa tidak duduk minum kopi dulu? Telur penyu dan Pulot di warung sana masih tersisa banyak. Cocok untuk kita kawankan dengan kopi.” Tawar Jae. Ia sontak mendorong punggung Husein ke arah kedai kopi dengan tak begitu kuat.

Sesampai di kedai kopi, tempat yang terbuka dan tak memiliki atap. Berderet kursi bagi para pemalas di pagi hari. Jae mengambil dua lembar nipah dan gumpalan tembakau di meja kopi kenalannya dengan rasa tak bersalah. Sementara Husein mencari meja kosong lalu duduk, Jae menghampirinya dan duduk di sebelahnya sambil memberikan nipah dan tembakau yang hendak dibakar.

“Jambang dan brewokmu belum kau cukur-cukur, saking sibuk dengan pekerjaan hingga lupa mengurus badan. Kau sudah seperti kambing saja.” Celetuk Jae seraya membalut tembakau.

“Urus saja urusanmu sendiri, Jae.” Sahut Husein kesal dengan jari yang sibuk menggulung tembakau. Suasana hening seketika.

“Ah ya, bagaimana dengan bedil yang sedang kau rakit, apa sudah bisa menandingi bedil buatan Portugeh? Apa orang-orang Kesultanan masih langganan senjata di tempatmu?” Tanya Jae.

“Gak sanggup pikir, yang ada meledak rumah kalau salah langkah. Orang-orang kerajaan pun tak lagi mengirimkan modal kepadaku. Para pekerja di tempatku sementara aku liburkan dulu. Kondisi seperti ini mana sanggup untuk menggaji mereka.” Sahut Husein sambil meminjam pemantik api di meja sebelah.

“Kalau bedil saja tak sanggup kau urus, apalagi urus Meriam. Tunggu bantuan dari Turki pun tak sampai-sampai.”

“Terus, dengan situasi seperti ini, orang-orang kesultanan dengan percaya diri ingin menumbangkan kaphe itu?” Sambung Jae dengan mengarahkan tangan ke rokok tembakau Husein yang terbakar dan menyambung api ke tembakau miliknya.

Kopi mereka diletakkan ke meja yang dibawa oleh pelayan. Seseorang dari arah pelabuhan memegang selembar surat mengumumkan sesuatu dari kejauhan dengan suara yang begitu keras. Orang-orang mulai berkerumun di sekitar orang yang berteriak itu.

“Perhatian!”

“Kapal pembawa barang yang berlayar minggu lalu telah dirampok dan disekap oleh Portugeh! Kini barang-barang itu ada di markas mereka di Malaka!” Terdengar suara pembaca pengumuman.

Husein bergegas ke sumber suara, meninggalkan meja kopi dan meninggalkan Jae. Rokok tembakaunya pun ia telentangkan di atas meja. Ia mendekat ke kerumunan orang pembawa berita itu. Sebuah kabar buruk di pagi hari.

“Bagaimana dengan Jamaah Haji yang berangkat sehari sebelumnya?” Tanya Husein ke Si Pembawa Berita.

“Soal itu …” Sambil membolak-balikkan halaman kertas surat.

“Nah! Soal itu, disini tidak tertulis apapun tentang kapal Haji. Ntah berhasil lolos atau malah disandera. Tapi, yang pasti mereka kehilangan kabar.” Sambung si Pembawa Berita.

“Darimana kau dapatkan surat itu?” Tanya Husein.

“Surat ini dari temanku di Malaka.”

Husein Kembali ke meja kopinya, mengambil tembakau yang ia letakkan di meja dengan kondisi masih terbakar, ia tarik satu dua kali hisap. Sedang Jae terlihat sibuk berbicara di meja pelanggan yang lain. Husein menjatuhkan rokok tembakaunya ke tanah, menginjak rokok dengan maksud memadamkan api, lalu pamit.

“Jae! Uang kopiku di bawah cangkir ya. Aku pamit dulu.” Sambil berteriak.

Jae bangun dari kursi dan mendekati Husein lalu berbisik.

“Tak apa, kau pulang saja, biar aku yang tanggung.”

Husein mengambil kembali uangnya yang terletak di bawah cangkir dan bergegas ke rumah Jabar, ingin menemui Azmi. Terlihat Azmi sedang menyiapi perbekalan untuk keberangkatannya esok pagi. Husein masuk ke rumah, menghampiri Azmi dan bertanya.

“Kau yakin benar-benar ingin berangkat? Tadi, kudengar kabar kapal Jamaah Haji yang berlayar minggu lalu hilang kabar. Sepertinya dugaanku mereka disandera dan dijadikan budak. Kau benar-benar yakin?”

“Rezeki, jodoh dan maut sudah diatur, Acut. Kau tak perlu risau begitu. Kita mana tahu, mungkin sekarang mereka sudah tiba di Mekkah.” Jawab Azmi.

“Kalau dijadikan budak, mana bisa pulang lagi. Bisa jadi kau nanti ditelantarkan di tempat yang sama sekali tak pernah kau kenali. Dunia ini luas. Sekali kau tersesat, kau pasti akan sulit untuk kembali.” Sahut Husein.

Azmi tak menghiraukan perkataan Husein. Ia malah lanjut menyiapkan semua perbekalannya. Jabar yang terlihat dari halaman yang berada belakang rumah, masuk dan mendekati Husein.

“Aku juga sudah membujuknya, tekadnya sudah bulat. Tak ada satupun yang mampu menghadang orang yang sudah membulatkan tekadnya, bukan?” Bisik Jabar. Husein pulang dengan perasaan pasrah.

Dan keesokan harinya, hari keberangkatan Azmi, Husein pergi ke Pelabuhan, suasana disana sesak dengan kerumunan orang yang hendak berhaji, gemuruh lantunan shalawat badar, Husein melihat Azmi yang sudah berdiri di bibir Pelabuhan, bersama Jabar dan Istrinya. Dari kejauhan, terlihat Azmi yang mencium tangan kedua orang tuanya. Husein mendekat ke kerumunan itu. Tiba-tiba Azmi menghampiri Husein sembari menyodorkan tangannya dengan aba-aba salam dan pamit.

“Aku berjanji padamu, aku akan selalu mengabari kalian saat dalam perjalanan nanti. Kau pegang janjiku.” Salam Azmi erat.

Nahkoda dan para kelasi bersiap untuk berlayar, ada yang sedang membenarkan layar dan adapula yang mengangkut barang. Para penumpang mulai naik ke kapal. Azmi meletakkan barang bawaannya ke tempat penyimpanan dan kembali dengan bersandar di sisi geladak kapal sambil menatap wajah-wajah orang yang mengantar saudaranya di Pelabuhan. Sempat ia tatap wajah dua orang tuanya dengan mata yang berseri dan bibir yang tersenyum. Jangkar telah diangkat dan kapal mulai berlayar. Orang-orang di Pelabuhan melambaikan tangan mereka ke kapal pengangkut Jamaah Haji.

Jabar dan Istrinya bergegas pulang, Husein pun begitu. Saat Husein tiba di rumah, ia melihat dua orang berdiri tepat di depan pintu dengan pakaian rapi, berpangkat dan membawa senjata. Mereka adalah prajurit kesultanan.

“Sultan menitipkan surat ini.” Kata salah satu prajurit. “Kau harus berangkat lagi kesana. Ini demi keselamatan Negeri kita.” Sambungnya.

Husein menerima surat itu, sementara kedua prajurit itu meninggalkan rumahnya. Di depan rumah, ia membuka surat itu dan membacanya. Dengan suara kecil dan terkejut, Husein berkata.

“Turki?!”

Bersambung …

Diterbitkan oleh mok

Mafia Layanan Masyarakat

Tinggalkan komentar

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Ayo mulai