Apanya yang Lunas?

#3

Belum juga waktu zuhur, kegaduhan sudah meledak di tengah-tengah pasar. Husein yang asik berkeliling dan mengharapkan kehadiran seorang pembawa berita yang rutin mengumumkan kondisi pelayaran, tapi malah menyaksikan keriuhan di pasar. Seseorang bertubuh kekar, terlihat tercekik kerah bajunya oleh dua orang yang dibayar untuk menyelesaikan masalah hutang salah satu warung minum. Tak ada kesempatan melarikan diri bagi pria bertubuh kekar itu, walaupun kekar, dengan kondisi terpojok seperti itu, tak ada celah untuk membuat keributan dan menumpahkan darah di tengah-tengah keramaian pasar. Kondisi yang terpojok. Tempat keramaian bukan tempat yang tepat untuk berkelahi, memangnya siapa yang akan melerai sekumpulan badak yang sedang adu kekuatan? Kalau bukan yang melerai malah berakhir dengan babak belur.

Dengan sigap, Pria kekar berhasil meloloskan cengkraman badannya dari penagih hutang itu dan melarikan diri, dua orang yang tadi sempat mencekiknya bergegas mengejarnya. Tak jauh ia berlari dari tempat itu, ia kembali terpojok dan dihadang jalan buntu. Benar-benar terpojok. Satu hantaman tinju melesat ke kepala pria kekar, tak sempat ia tepis. Kemudian, dua orang penagih hutang mengunci pergerakan anggota tubuh si pria kekar.

Husein mengikuti mereka, karena memang tidak ada manusia lain yang berniat memisahkan perseteruan mereka. Ia dekati badak-badak itu.

“Hei hei! Bukankah bisa kita selesaikan ini secara baik-baik?” Seru Husein kepada orang-orang bertubuh besar itu.

Dua orang yang sibuk menyekap pria kekar itu sontak berhenti. Melihat husein dan berkata.

“Memangnya kau sanggup melunasi hutang pria ini?! Sahut salah satu dari dua orang besar sambil meremas dengan keras kerah pria kekar itu.

“Berapa hutangnya?” Tanya Husein dengan menatap wajah pria kekar yang disandera.

“Dia telah menghabiskan empat cangkir minuman di warung dan lima potong roti yang belum ia lunasi selama tiga bulan.” Kata salah seorang penagih hutang.

Husein mengeluarkan surat berstempel kerajaan dari sakunya. Surat panggilan yang pernah ia terima dari pihak kesultanan. Ia tunjuki surat itu ke penagih hutang. “Biar aku lunasi, aku bekerja dengan orang kesultanan, upahnya akan diberikan besok, kalian bisa mencari aku di rumah dekat kolam ikan disana.” Para penagih hutang membaca surat sambil menyekap pria kekar. “Orang ini, biarlah dia bersamaku untuk sementara.” Sambung Husein.

Kedua orang penagih hutang itu, melepaskan tangannya dari pria kekar. Dan salah satunya menunjuk Husein. “Besok, harus lunas!” Mereka pergi dan kembali ke majikannya. Husein mengajak pria kekar yang disandera itu ke rumahnya. Meski kekar, ia tampak tak berdaya dengan hutang yang melilitnya. Untuk apa berkelahi dan membunuh karena hutang, pun penagih hutang tak bersalah karena memang itu pekerjaannya. Husein mengarahkan tangan kanannya ke pria itu, menarik tubuh pria yang tersungkur di tanah setelah disergap oleh penagih hutang. Mereka berjalan menujur rumah Husein.

“Banyak sekali pertanyaan yang akan kutujukan padamu, tapi pertama-tama, siapa namamu?” Tanya Husein sambil berjalan.

“Juni.” Sahut pria kekar itu.

“Maaf?”

“Iya, namaku Juni.”

“Kau salah satu orang yang diutuskan Sultan ke Turki?” Tanya Husein heran.

“Iya, dua bulan lagi, bukan?”

Mereka tiba di rumah Husein, ia menuntun Juni ke gudang bedil miliknya. Husein menyusun peti-peti yang dikemasnya tempo hari. Juni dengan keinginannya sendiri juga ikut membantu Husein merapikan posisi peti-peti itu.

“Mau kirim kemana barang-barang ini, Tuan?” Tanya Juni.

“Akan kubawa ke Turki.”

“Kau juga ikut ke Turki? Kebetulan sekali!” Dengan mimik wajah riang, Juni merasa beruntung bisa satu perjalanan dengan Husein yang telah menyelamatkannya dari hutang.

“Jangan senang dulu, kau harus lunasi hutangmu padaku, jangan pula kau pikir semua ini lunas begitu saja.” Celetuk Husein.

“Baik, Tuan.” Jawab Juni sambil mengelilingi seisi gudang bedil itu.

“Kemana kau bawa upahmu selama kau jadi prajurit kesultanan?” Tanya Husein sambil membereskan barang.

“Untuk bersenang-senang. Banyak sekali. Untuk makan, untuk minum, membeli hadiah untuk wanita-wanita di Malaka.”

Sepotong bedil bersarung kulit terbaring di meja, di gudang Husein. Benda itu tampak mengkilap dan siap pakai. Juni mengambil senjata itu, sementara Husein masih membereskan barang di sudut gudang. Juni meloloskan bedil itu dari sarung dan menodongnya ke satu arah, menarik pelatuk. Suara ledakan. Dekat dan dengung. Husein menunduk, kedua tangannya tampak melindungi kepalanya.

“Woi! Langgoe!” Teriak Husein menghadap Juni. Pria kekar bernama Juni bingung dan terkejut. Mengarahkan tatapan mata yang melotot ke arah Husein, mulut sedikit menganga, tangan yang sedang menggenggam bedil yang mengeluarkan asap.

“Itu bukan mainan, Pap!” Dengan murkanya Husein mendekati Juni dan hampir melayangkan telapak tangannya ke kepala Juni. Spontan Juni mengelak dari tapak tangan yang akan mendarat ke kepalanya, padahal tangan itu belum sampai ke wajahnya. Husein menarik tangannya, tak jadi menempeleng kepala pria tolol itu. Husein merampas bedil dari tangan Juni dan meletakkannya ke dalam peti. Juni masih kelihatan syok karena masih kepikiran kalau saja pelurunya menyasar ke kepala orang lain.

Jabar telah berdiri di pintu gudang, melihat keadaan di dalam gudang. “Suara bedil tadi cukup menyeramkan.” Seru Jabar. “Batang pisang disana pecah terkena peluru itu, untung saja tak ada orang yang lewat.”

Sontak dua orang dalam gudang itu, Husein dan Juni, menyambut kedatangan Jabar. Tanpa basa-basi, Husein bertanya. “Bagaimana keadaan Azmi?”.

Jabar terlihat menyusuri gudang dan melihat-lihat hasil rakitan Husein. Arah matanya terpaku ke bijih besi yang tersusun di sisi gudang.

“Belum ada kabar apapun.” Sambil memegang batang besi. “Bukannya selama ini kau menunggu kabar dari pelabuhan?” Sambungnya.

 “Si pembawa berita tak hadir beberapa minggu ini.” Sahut Husein.

“Aneh sekali, bukan? Tak biasanya sepi kabar seperti ini.” Ujar Jabar dengan mengelus-elus batang besi.

Juni yang bingung dengan obrolan mereka berdua, bertanya.

“Siapa Azmi, Tuan?”

“Anakku.” Jawab Jabar, lalu Ia melihat Husein. “Siapa pria ini?” Tanya Jabar.

“Dia termasuk orang yang akan menemaniku ke Turki.” Jawab Husein.

“Biar aku tebak, kau seorang prajurit? Kau tak bisa menipuku dengan bentuk tubuh seperti itu” Celetuk Jabar.

 “Benar, aku ditugaskan untuk menjaga keamanan dalam Nagari. Tapi untuk saat ini, aku dibebas-tugaskan.”

“Diliburkan karena akan berangkat ke Turki?” Tanya Jabar.

“Be … “. Belum selesai dijawab.

“Diliburkan karena langgoe.” Sambar Husein

“.. nar.”

Jabar tersenyum sambil meletakkan bijih besi ke sisi gudang, memberi bingkisan ke Husein, lalu pamit pulang. Bingkisan kecil, pipih, yang diikat tali serat Husein terima kemudian ia masukkan ke dalam saku. Juni membereskan barang terakhir, gudang sudah bersih. Husein mengajaknya ke pasar, untuk istirahat sekaligus menanti kabar dari si pembawa berita .

“Rumahmu dimana, Juni? Sambil berjalan Husein bertanya.

“Aku berasal jauh dari kampung ini, saat menjadi prajurit aku tidur di barak, tapi akhir-akhir ini aku tidur di sudut-sudut pasar.”

“Lebih baik uangmu kau gunakan untuk menyewa penginapan, tapi malah kau hambur-hamburkan.”

“Ya, mau bagaimana lagi? Masih muda, waktunya bersenang-senang dan mencoba segalanya bukan?” Ujar Juni sambil berjalan. “Sepertinya kau tak menikmati masa mudamu, Tuan? Ayolah, cobalah nikmati dunia yang penuh hiburan ini, kau akan tahu rasanya dan pasti nikmat sekali.” Sambungnya.

“Cih …” Decap Husein.

Sebelum tiba ke pasar, saat mereka berada di Pelabuhan yang berada sebelum pasar. Sebuah kapal mendekat ke dermaga, kapal yang bagus dan mengkilap. Seseorang dari kapal itu melambaikan tangannya ke arah Husein. Maghamir, ia meneriaki nama Husein. “Hohoiiiii!”

Husein menoleh ke sumber suara, menggerakkan bola matanya ke Juni, dan berkata dengan suara berbisik.

“Kita akan berangkat …”

Bersambung …

Diterbitkan oleh mok

Mafia Layanan Masyarakat

Tinggalkan komentar

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Ayo mulai