Pergi

#6

Dua bulan berlalu …

Pagi-pagi sekali, suasana pelabuhan masih sepi, sekumpulan pria yang bekerja sebagai petani mengantar beberapa potongan kayu gaharu menggunakan gerobak kuda ke dermaga. Salah satu dari mereka menemui kelasi Maghamir, melakukan Ijab jual-beli, bisnis kecil-kecilan. Para kelasi Maghamir mulai mengangkut potongan kayu-kayu itu ke dalam kapal. Petani-petani itu juga memberi sedikit upah untuk ongkos pengiriman ke daratan Arab kepada awak kapal Maghamir. Seharusnya, untuk menitipkan barang seperti yang petani itu lakukan harus melalui perizinan dari pihak kerajaan. Namun karena proses perizinan terbilang sedikit rumit dan cenderung mahal, mereka para petani tidak memiliki pilihan lain. Resiko mengirimkan barang seperti itu juga tergolong besar. Kalau saja kapal Maghamir tidak pulang dengan selamat, para petani itu merugi. Tapi, kalau gaharu itu laku, para petani itu akan untung besar, karena hasil penjualan gaharu tentu saja akan dibawa pulang oleh Maghamir.

Gaharu adalah barang mahal bagi orang Arab dan India. Itulah mengapa para petani mencuri-curi kesempatan pada orang-orang Maghamir untuk menyelundupkan gaharu, lalu dijual kepada orang Arab, meski Maghamir bukan seorang nahkoda untuk kapal pengiriman barang sekalipun.

Saat mereka berangkat ke China, praktik ini sudah mereka geluti untuk membantu petani-petani kecil. Dan orang-orang Maghamir pun mendapat sepertiga dari keuntungan penjualan gaharu. Ini saling menguntungkan. Tidak hanya gaharu, tapi barang dan rempah lain juga mereka angkut dengan jumlah yang tidak banyak tentunya-karena kapal mereka juga bukan kapal barang-. Namun gaharulah yang lebih menjanjikan dijual kepada orang Arab dan daratan asia lainnya ketimbang bisnis rempah-rempah.

Matahari mulai memancarkan cahaya dari ufuk timur, para petani pulang dengan buru-buru menggunakan gerobak kudanya. Sementara Tahir yang datang seorang diri terlihat kerepotan membawa barang-barangnya menuju dermaga.

“Hei, Paman. Kelihatannya kau sangat kesusahan membawa barang bawaanmu.” Si kembar dengan cengengesan berlari-lari sekitar Tahir lalu menaiki kapal.

“Dasar, Anak muda. Bukannya membantu … “ Tahir mengoceh.

Tak lama setelah itu, orang-orang kerajaan tiba ke Pelabuhan untuk memberikan selamat dan mempersiapkan upacara adat kepada mereka yang ditugaskan ke Turki. Husein tiba dengan tepat waktu mengendarai kereta kuda bersama Paman dan Bibinya dengan membawa perbekalan dan barang untuk dibawa kesana. Orang-orang kerajaan mulai mengangkut barang dan hadiah yang akan diberikan kepada Turki ke dalam kapal, juga tak lupa membantu Husein mengangkut barang-barangnya. Para pasukan dari kerajaan mulai melakukan pengawalan. Mereka juga memeriksa semua barang di dalam dek kapal. Menurut mereka tidak ada yang mencurigakan selain potongan gaharu yang sudah tersusun di dalam dek. Namun salah satu kelasi Maghamir mengatakan gaharu itu adalah milik kapten mereka yang sengaja disimpan untuk berjaga-jaga jika mereka kehabisan perbekalan di tengah perjalanan. Pasukan kerajaan turun dari kapal tanpa merasa curiga.

Upacara pelepasan telah dimulai. Sementara Juni belum terlihat sama sekali. Faul, Husein, Tahir, Murtala dan Murtada turun dari kapal mengikuti upacara adat yang dilaksanakan oleh pihak kerajaan.

“Jangan bilang padaku kalau Juni si langgoe itu terlambat.” Cetus Tahir pada Husein. Husein menghela nafas dan mengelap wajahnya dengan telapak tangan, tanda mengeluh.

Upacara selesai, semua awak bersiap-siap masuk ke dalam kapal, kecuali Husein dan Tahir. Dengan tiba-tiba batang hidung Maghamir muncul di hadapan mereka.

“Kau melewatkan upacara?” Kaget Husein.

“Kalau kau tidak sarapan, kau akan terkena serangan jantung, sobat. Aku dengar itu dari orang China, kau tahu?” Ucap Maghamir.

“Ya Salam, kau lebih mementingkan makan daripada upacara? Aku pikir daritadi kau sudah ada disini. Mengikuti upacara bersama kami.” Kata Husein.

“Tapi kan sudah ada yang mewakili.” Seru Maghamir dengan menunjuk menggunakan dagunya ke arah Faul yang sedang menaiki kapal.

Si kembar, Murtala dan Murtada, saking riangnya mereka berlari-lari di tengah-tengah kapal. Faul yang menyadari ulah mereka langsung membentaknya.

“Hei! Kau tahu berapa harga untuk memperjuangkan semua yang ada dalam kapal ini? Kalau saja ada sepotong kayu kapal ini yang rusak, akan aku arahkan senjataku saat itu juga, dimulai dari kepala kalian.” Si kembar berhenti seketika, mereka berdua memilih untuk bersandar di sisi kapal sambil melihat-lihat pemandangan di arah  dermaga yang disesaki oleh kerumunan orang-orang.

Husein berpamitan dengan Jabar dan Siti (Paman dan Bibi) di dermaga.

“Kalau Azmi benar-benar tersesat di suatu tempat, segera kau bawa pulang dia kemari, Husein.” Setelah melepaskan pelukan Jabar, Husein mengangguk. Maghamir juga ikut menyalami Jabar dan Siti, lalu mengajak Husein menaiki kapal. Tahir sudah mendahului mereka.

Saat memasuki kapal bersama Husein, Maghamir berteriak. “Cepatlah bekerja, para pemalas! Kembangkan layar! Jangan melamun kau disana, hei! Segera angkat jangkar yang indah itu, pemabuk!” Seketika semua kelasi bekerja tergopoh-gopoh seperti anak ayam setelah nyaman dan enaknya berjemuran di dalam kapal.

“Sebentar, kau tidak menunggu Juni? Tanya Husein kepada Maghamir.

Seorang pria bertubuh kekar, berteriak sambil berlari di sisi dermaga.

“Tunggu aku, Husein!”

“Itu dia, sudah datang.” Ucap Maghamir sambil tersenyum.

Jangkar diangkat, kapal melepaskan ikatan dari Pelabuhan. Juni yang menopang kedua tangannya ke lutut merasa kelelahan setelah berlari dengan amat kencang entah darimana.

Maghamir mengambil komando dengan memegang kemudi kapal sambil tertawa khas seperti Barbarossa si janggut merah bersaudara. Sebuah nada tawa yang mampu mengguncangkan seisi lautan. Maghamir sudah sejak lama mengagumi mereka berdua karena mereka sangat berjasa bagi agama dan negara. Penampilan pakaian Barbarossa juga ditiru oleh Maghamir agar keberanian Barbarossa juga merasuki badan Maghamir, kecuali fez yang ada di kepala mereka. Karena menurutnya, meniru semua apa yang dikenakan oleh bangsa lain tidak mercerminkan darimana kita berasal. Ia mengganti fez dengan penutup kepala khas tanah kelahirannya.

Kapalpun mulai berlabuh ke lautan luas, bayangan pulau dari tempat mereka meletakkan jangkar kini terlihat semakin mengecil. Untuk membuat semangat kelasi semakin membara, Maghamir melantunkan sajak yang pernah ia dengar dan hafal dari cicit seorang veteran Anglo-Saxon saat kakek buyutnya bertarung melawan bangsa Viking. Mereka bertemu di daratan China saat Maghamir ingin mengasah pedang ke toko milik cicit veteran Anglo-Saxon tersebut.

Ibuku memberitahuku
Suatu hari aku akan membeli
Galai dengan dayung yang bagus
Berlayar ke pantai yang jauh

Sontak Murtada menyaut sajak Maghamir dengan spontan.

Ibuku juga memberitahuku

Suatu hari aku akan membeli

Kambing dengan pantat yang berkudis …

Maghamir dan beberapa kelasi tertawa setelah mendengar sajak balasan dari Murtada. Sementara kapal sudah berada dalam jalur, Faul mengambil alih kemudi. Maghamir menuju ke tengah kapal, menghirup nafas dalam-dalam sembari menikmati.

“Ahhhh … Aroma udara laut lepas.”

Sementara Tahir terlihat sedang sibuk menulis sambil melatih kemampuannya dalam menerjemah bahasa di sudut kapal. Mata Maghamir tertuju ke arah Husein yang sedang menatapi seisi permukaan laut di moncong kapal. Ia menghampiri Husein yang tengah melamun, menepuk pundaknya.

“Kau masih takut setelah apa yang kau alami saat berangkat ke Turki beberapa tahun lalu, saudaraku?” Tanya Maghamir pada Husein. Husein tak menggubrisnya. Tatapannya masih ke depan. Maghamir tersenyum.

“Kau tahu ombak? Ia surut ke dalam laut dan menghempaskannya kembali ke pantai bersama buih-buihnya, begitulah seterusnya. Ia akan selalu begitu.” Seru Maghamir, lalu meninggalkan Husein yang melamun seorang diri.

Bersambung …

Diterbitkan oleh mok

Mafia Layanan Masyarakat

Tinggalkan komentar

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Ayo mulai