Gujarat

#8

Pelabuhan Surat

Terik matahari menyengat segala kehidupan yang ada, burung camar di sisi teluk bermandian dengan mengepakkan sayap yang kering akibat lemparan cahaya matahari yang mengguyur mereka dari pagi hingga siang. Sementara kapal Maghamir semakin dekat dengan pelabuhan. Mencari tempat yang tersisa untuk mereka berlabuh. Karena Pelabuhan Surat juga termasuk pelabuhan paling sibuk di Gujarat. Banyak kapal yang menepi disana, dari berbagai negara tentu saja. Pelabuhan Surat juga termasuk tempat para jamaah haji melakukan peristirahatan sebelum melanjutkan pelayaran mereka ke tanah suci.

Kapal Maghamir berhasil berlabuh ke Pelabuhan Surat, setelah melihat satu lahan yang bisa dimasuki kapal untuk menepi. Jangkar diturunkan. Beberapa tambang diikat di sisi dermaga agar kapal mereka tak lepas terbawa ombak.

Dari semua kelasi kapal Maghamir, hanya Faul dan Tahir yang boleh turun lebih dulu, mengurus berkas dan perizinan memasuki kawasan Gujarat. Sementara kelasi dan orang-orang Husein menunggu kabar dari Faul dan Tahir di dalam kapal.

Husein menuju ke ruangannya, beres-beres. Lalu ia menuju ke dek bawah. Di dek bagian bawah tersedia gentong berisi air yang digunakan untuk berwudhu, namun ia gunakan untuk membersihkan badan dan mencukur janggut tebalnya. Setelah mengira tubuhnya bersih, Husein kembali ke ruangannya, memilih pakaian yang rapi untuk ia kenakan saat berkeliling di Gujarat. Sesaat sesudah tampil dengan rapi dan wangi, ia menuju ke geladak utama. Aroma parfum Husein menancap ke batang hidung Maghamir, seketika Maghamir yang duduk di tengah kapal dengan memegang pedang yang sedang ia bersihkan mencari darimana aroma itu berasal. Dan aroma itu berasal dari Husein, ia menatap Husein.

“Hei, kau ingin menghabisi harimu bersama pelacur atau bagaima ….”

“Sssst! Jaga omonganmu, Mir!” Ucap Husein, dengan sigap menutup mulut Maghamir dengan telapak tangannya.

“Memangnya siapa lagi yang ingin kau temui selain pelacur? Kau cukur janggutmu supaya tubuh pelacur itu tidak terasa gatal, bukan?” Bisik Maghamir dengan nada mengejek dan tersenyum.

Sementara Juni, yang baru terbangun akibat kekenyangan makanan yang membuatnya tertidur begitu pulas, ia terbangun dan langsung bersandar di tepi kapal, melihat suasana pelabuhan yang begitu ramai sambil mengusap-usap kelopak matanya. Namun untung saja tidak ada si kembar di antara mereka. Bila mereka berdua mengetahui omongan Maghamir dan Husein, mungkin masalah itu akan semakin panjang dan orang seisi kapal akan mengira Husein adalah seorang penggila wanita.

Dari pelabuhan terlihat Faul dan Tahir berjalan menuju kapal Maghamir, sambil membawa beberapa berkas. Faul meminta seluruh awak kapal berkumpul di geladak utama, memberitahu kabar terkini mengenai Gujarat. Saat berkumpul, Murtala yang kaget dan seketika mencolek Murtada agar melihat Husein yang telah mencukur janggutnya.

“Kemana kau bawa bulu wajahmu, Cek?” Tuju Murtada kepada Husein. Sontak Husein menatap mereka dengan tatapan tajam dan tak menjawab apa-apa.

“Supaya tidak gatal kan, Cek?” Sahut Murtala mewakili tatapan tajam Husein.  

Faul mengingatkan semua untuk tenang dan mengatakan bahwa Portugeh sudah menguasai daerah India bagian barat. Mengingatkan pada mereka agar senantiasa berhati-hati, mungkin saja mereka telah menyadari tujuan kapal Maghamir. Keamanan di Gujarat memang sudah lama diperketat, keamanan di bagian laut dipenuhi kapal tentara, beberapa tentara pun turut berpatroli di sekitar pelabuhan. Namun kapal Maghamir berhasil berlabuh dengan aman dan selamat karena Sultan mereka telah mengirim surat kepada Raja India jauh-jauh hari mengenai kedatangan Kapal Maghamir. Tahir juga memberi tahu kepada seluruh kelasi Maghamir agar menyiapkan Gaharu dan beberapa rempah untuk dijual ke pedagang di pasar Gujarat setelah azan ashar. Karena ia mendengar informasi dari penjaga laut, bahwa pasar akan ramai dan padat menjelang malam hari, juga tak sedikit saudagar Arab dan orang-orang Turki berjualan disana.

Setelah mendengar informasi dari Faul dan Tahir, para kelasi Maghamir berpencar, menuju ke tempat-tempat yang ingin mereka kunjungi. Husein, Tahir dan Maghamir menuju ke kedai minuman setempat. Juni, pergi sendirian keliling pelabuhan. Sedangkan Si kembar entah kemana hilang begitu saja setelah Faul selesai berbicara. Kelasi Maghamir mulai mengangkut gaharu ke geladak utama, alasannya agar saat azan mereka tak repot-repot dan gabuk menyiapkan gaharu dan rempah yang hendak mereka jual karena akan memakan waktu begitu lama.

Husein, Tahir dan Maghamir mulai menyusuri sudut-sudut pelabuhan, hingga mereka tiba sebuah di kedai minuman, suasana yang cukup ramai, Husein memilih tempat duduk. Ia memesan Teh Cai menggunakan bahasa India kepada pelayan kedai yang sudah berdiri di sisi meja mereka. Maghamir juga memesan pesanan yang sama dengan Husein. Tahir kebingungan, ia tidak mengerti apa yang dipesan oleh Husein dan Maghamir. Karena dari manuskrip india yang ia pelajari hanya tertulis kopi dan susu. Tidak ada kata ‘Cai’ disana. Yang ia tahu hanya kopi, susu dan teh biasa, tentu saja semua manusia di dunia ini suka dan pasti pernah meminum tiga minuman itu. Namun, lagi-lagi, ia belum pernah membaca dan mendengar ‘Cai’ dalam beberapa catatan yang ia pelajari. Tahir memesan kopi, karena tidak mau membuat pelayan itu menunggu lama akibat menunggu Tahir berpikir tentang minuman yang ingin ia pesan. Pelayan itu kembali ke dapur.

“Teh Cai?” Tanya Tahir heran.

“Iya, itu bagus untuk kesehatanmu.” Jawab Husein.

Setelah menunggu beberapa saat. Pelayan membawa pesanan mereka dan mendaratkannya ke atas meja, seketika Tahir terkejut, rupanya di dalam gelas Teh Cai terdapat beberapa butir kacang yang mengapung, aromanya persis mirip dengan bandrek buatan kampung mereka.

Husein juga memberi tahu bahwa di Gujarat, kopi lebih mahal tiga kali lipat daripada Teh Cai. Tahir menyesal karena buru-buru memesan kopi, selain mahal, kopi juga dapat membuat perut kembung. Di sisi Tahir, Maghamir meneguk cai hangat hingga membasahi kerongkongannya. Sementara Husein merogoh sakunya, mengambil tembakau dan daun nipah yang telah dipotong-potong, ia meloloskan secubit tembakau lalu ia gulung tembakau itu ke dalam daun nipah. Pun Maghamir mengambil sedikit tembakau milik Husein dan menggulungnya ke dalam nipah. Husein meminta korek api kayu pada Maghamir. Lalu membakar tembakau yang telah mereka gulung. Kepulan asap memenuhi seisi meja.

Seorang pelanggan di sebelah meja Husein duduki, penasaran dengan benda yang mereka bakar dan hisap. Husein yang menyadari pelanggan itu, mempersilahkannya duduk bersama mereka. Pelanggan itu duduk tepat di sebelah Husein dan membawa gelas minumannya. Husein mendorong bungkus tembakau tepat ke depan pelanggan tersebut. Pelanggan itu mulai membalut nipah, namun selalu longgar dan tak pantas untuk dibakar. Melihat si pelanggan yang susah payah membalut tembakau, Husein mengajarinya dengan kosakata yang terbatas, ia memperlihatkan cara membalut tembakau sambil berucap ‘begini’, ‘dan begini’, ‘lalu begini’ dalam bahasa India. Namun si pelanggan masih belum lancar dalam membalut dan masih saja longgar. Si Bajingan Maghamir terlihat menikmati pemandangan unik di depannya sambil cengengesan. Karena pengalaman pertama si pelanggan dalam membalut tembakau, akhirnya Husein bersedia menghadiahkan satu balutan tembakau yang telah ia balut saat memperhatikan si pelanggan yang membalutnya dengan payah. Tak tanggung-tanggung, Husein memberinya balutan yang tebal. Wajah Maghamir memerah karena usaha kerasnya menahan tawa setelah melihat kejadian di depannya. Husein mengambil korek api, lalu menodong api itu, tepat depan mulut si pelanggan yang telah menggigit balutan tembakau. Dengan polosnya si pelanggan menghisap tembakau itu, tarikan pertama, seketika ia batuk dan tersedak asap. Maghamir yang menahan daritadi tak sanggup melihat kejadian itu, ia lepaskan tawanya, mengelap airmata karena saking bodohnya melihat si pelanggan itu dalam menghisap tembakau. Sementara si pelanggan malah ikut tersenyum melihat tingkah Maghamir. Tarikan kedua, si pelanggan mulai terbiasa setelah Husein mengingatkan padanya agar jangan terburu-buru. Mata Husein, Tahir dan Maghamir tertuju pada si pelanggan, memastikannya supaya dia baik-baik saja.

Tahir yang sedikit lancar bahasa India, mulai mengobrol dengan pelanggan itu. Tahir menanyakan keadaan Gujarat akhir-akhir ini pada si pelanggan. Si pelanggan menjawab persis seperti apa yang dikatakan oleh penjaga laut Gujarat. Pada tarikan ketiga, pelanggan itu kembali tersedak asap, suara batuknya mengagetkan pemilik kedai sehingga pelayan membawakannya segelas air hangat. Sementara si bajingan Maghamir tak henti-henti tertawa.

“Dia menertawaiku?” Tanya Si Pelanggan pada Tahir.

“Oh, tentu saja tidak. Ingatannya masih terjebak pada kejadian-kejadian kami di lautan.” Jawab Tahir dalam bahasa India.

Lalu si pelanggan bertanya pada mereka bertiga.

“Kalian berasal darimana? Kelihatannya kalian orang yang jauh dari sini.”

Dengan polos Tahir menjawab.

“Bandar Asyi Darussalam.”

Tarikan keempat. Setelah mendengar jawaban Tahir. Si pelanggan kembali tersedak. Kali ini lebih parah, ia menunduk sambil batuk-batuk, hingga membuat tangan kirinya mengelus-elus dada, wajahnya memerah. Ia minum air hangat dengan tangan yang bergetar hebat. Setelah minum, ia mengelap sisa air yang menempel di bibirnya, matanya melotot. Suara azan berkumandang, dari menara mesjid.

Bersambung …

Diterbitkan oleh mok

Mafia Layanan Masyarakat

Tinggalkan komentar

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Ayo mulai